Mengungkap fakta saja mungkin tidak cukup untuk mengatasi kesalahan informasi sains, sebuah penelitian menunjukkan buktinya.

ngarahNyaho - Studi yang diterbitkan dalam Journal of Research in Science Teaching menambahkan bukti, pendekatan sanggahan mungkin merupakan cara yang lebih baik untuk memerangi misinformasi.
Pendekatan itu lebih efektif bila dibandingkan metode tradisional dalam mengkomunikasikan sains.
“Pendekatan sanggahan tampaknya bekerja dengan sangat baik,” kata penulis utama Robert Danielson, seorang peneliti psikologi pendidikan di Washington State University.
Dia menyebutkan tantangan guru saat menghadapi siswa di masa kini. “Meskipun tampil sebagai guru atau komunikator adalah hal yang terbaik, siswa memiliki ponsel pintar."
Dengan kata lain, "Mereka akan mendapatkan informasi yang salah dengan cepat. Jika kita mengambil pendekatan sanggahan ini, kita akan lebih mungkin mengatasi misinformasi.”
Dengan banyaknya informasi yang tersedia dengan mudah di internet, mungkin sulit bagi banyak orang untuk memilah fakta dari kebohongan.
Hal ini dapat menyebabkan masalah yang oleh para peneliti disebut sebagai “kontaminasi konseptual” – ketika mempelajari informasi yang salah mengganggu pembelajaran informasi yang benar.
“Pikiran Anda tidak membeda-bedakan konten. Entah itu konsepsi yang benar atau kesalahpahaman, itu hanya menyerap semuanya,” kata Danielson.
“Orang-orang dapat mempelajari kesalahpahaman dengan cukup mudah, dan hal itu selalu terjadi secara online.”
Peneliti pendidikan sedang mencari cara untuk mengajarkan sains yang dapat mendobrak informasi yang salah. Penelitian ini dan penelitian lainnya menunjukkan bahwa pendekatan sanggahan cukup menjanjikan.
Dalam sebuah percobaan, 152 siswa yang terkena misinformasi membaca salah satu dari dua artikel yang dimaksudkan untuk memberi mereka informasi yang benar dan didukung secara ilmiah.
Mereka yang membaca artikel ekspositori yang “hanya berisi fakta” mempunyai lebih banyak miskonsepsi.
Hal itu dibandingkan mereka yang membaca artikel dengan sanggahan—artinya artikel tersebut secara spesifik menyebutkan klaim palsu sebelum menyajikan fakta.
Untuk penelitian ini, para peneliti pertama-tama menguji apa yang diketahui para siswa peserta tentang memasukkan fluorida ke dalam air.
Para siswa kemudian membaca dua artikel: satu dengan informasi palsu tentang fluoridasi berbahaya dan satu lagi menyajikan konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa fluoridasi aman dan mencegah penyakit gigi.
Semua peserta membaca teks misinformasi yang sama, namun kelompok yang berbeda membaca artikel dengan informasi yang benar.
Artikel dengan informasi yang benar itu disajikan dengan gaya tradisional “hanya fakta” atau artikel yang pertama kali membantah misinformasi tersebut.
Penelitian ini juga menguji dampak meminta partisipan membaca artikel yang benar sebelum, atau sesudah, informasi yang salah.
Sebuah post-test mengungkapkan bahwa para siswa masih belajar dalam keempat kondisi tersebut.
Hanya saja kelompok yang memiliki kinerja terburuk telah melihat informasi yang salah terlebih dahulu, diikuti dengan teks jenis “hanya fakta”.
Mereka yang telah membaca artikel sanggahan sebelum atau sesudah misinformasi memiliki lebih sedikit kesalahpahaman. Mereka juga memiliki emosi yang lebih positif terhadap subjek tersebut.
Alasan pilih topik fluoridasi
Para peneliti memilih fluoridasi untuk percobaan ini karena kurang bermuatan politis dibandingkan topik ilmiah lainnya seperti perubahan iklim atau evolusi.
Namun, Danielson dan rekan-rekannya baru-baru ini melakukan meta-analisis yang diterbitkan dalam jurnal Educational Psychologist terhadap 76 studi pendidikan lainnya.
Mereka menemukan bahwa pendekatan sanggahan bekerja dengan baik untuk berbagai topik mulai dari isu-isu non-kontroversial dalam bidang fisika dan kimia hingga isu-isu yang sangat kontroversial.
Beberapa isu kontroversial itu di antaranya perubahan iklim dan evolusi serta makanan dan vaksin hasil rekayasa genetika.
“Beberapa kesalahpahaman mungkin relatif tidak berbahaya, seperti ketika seorang anak mengira susu coklat berasal dari sapi berwarna coklat,” kata Danielson.
“Tetapi untuk hal-hal lain, seperti kesalahpahaman yang mengakar mengenai keamanan dan kemanjuran vaksin, mungkin terdapat beberapa implikasi yang sangat serius, tidak hanya bagi Anda, juga untuk generasi mendatang.” |
Sumber: EurekaAlert
إرسال تعليق