Dulu, Curah Hujan di Arab 5 Kali Lebih Banyak, Singa pun Nyaman Huni Gurun

Hasil studi terbaru tentang curah hujan di Arabia menjadi peringatan mengenai ancaman banjir dan kekeringan yang kian meningkat. 


Kolam air garam merupakan salah satu lingkungan paling ekstrem di Bumi. (Foto: OceanXplorer)Kolam air garam merupakan salah satu lingkungan paling ekstrem di Bumi. Foto: OceanXplorer


Ringkasan: 

  • Sebuah studi baru menemukan bahwa curah hujan di Arab 400 tahun yang lalu jauh lebih ekstrem daripada sekarang.
  • Studi ini menggunakan inti sedimen dari dasar laut untuk merekonstruksi pola curah hujan di Arab selama 2.000 tahun terakhir. 
  • Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah tersebut pernah memiliki iklim yang lebih basah dan hijau, dengan curah hujan yang lebih banyak daripada sekarang.


ngarahNyaho - Sebuah studi baru yang merekonstruksi curah hujan di Arabia telah mengungkap bahwa curah hujan di wilayah tersebut lima kali lebih ekstrem hanya 400 tahun lalu.


Temuan dari studi yang dipimpin oleh University of Miami Rosenstiel School of Marine, Atmospheric, and Earth Science menunjukkan bahwa 2.000 tahun terakhir jauh lebih basah.


Wilayah tersebut dahulu kala lebih menyerupai sabana bervegetasi yang dihuni oleh singa, macan tutul, dan serigala, tidak seperti gurunnya yang sangat gersang saat ini. 


Studi tersebut dipublikasikan pada 21 Februari 2025 lalu di jurnal Science Advances.


Penulis utama studi, Sam Purkis, mengatakan, temuan tersebut menekankan tentang kebutuhan untuk meningkatkan ketahanan iklim dan kesiapsiagaan bencana. 


Apalagi, kata salah satu profesor di University of Miami Rosenstiel ini, proyek pembangunan besar seperti NEOM di Arab Saudi membentuk ulang lanskap wilayah tersebut. 


Dalam studi ini, peneliti menggunakan kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh (ROV) pada kedalaman lebih dari satu mil yang dikerahkan dari kapal penelitian OceanXplorer.


Tim peneliti mengekstraksi inti sedimen dari kolam air garam laut dalam di Teluk Aqaba, perpanjangan dari Laut Merah utara. 


Kimia air garam tersebut mengawetkan lapisan sedimen yang tidak terganggu, menyediakan catatan unik dan sangat akurat tentang tren curah hujan Holosen Akhir.


Mereka menemukan bahwa 2.000 tahun terakhir di Arabia jauh lebih basah, dengan wilayah tersebut dulunya merupakan sabana yang ditumbuhi tanaman.


Sekitar 200 tahun yang lalu, curah hujan dua kali lipat dari jumlah saat ini.


"Ini adalah catatan penting untuk mengisi sejarah iklim Timur Tengah," kata Amy Clement, rekan Purkis yang juga dari University of Miami Rosenstiel.


"Iklim, baik rata-rata maupun ekstrem, dapat berubah secara dramatis di wilayah ini, dan asumsi stabilitas iklim jangka panjang dalam pembangunan di masa mendatang bukanlah asumsi yang baik.” 


Timur Tengah dianggap sebagai titik panas iklim. Di sisi lain, banjir bandang meningkat akibat hujan musim dingin yang lebat, diselingi oleh kekeringan yang parah.


Kondisi tersebut menyebabkan kekacauan yang meluas dan bencana kemanusiaan. 


Studi Purkis dan rekan-rekannya menyoroti perlunya kesiapsiagaan menghadapi ancaman banjir bandang dan kekeringan yang lebih baik.


Selain itu penelitian tersebut juga menekankan pentingnya pemahaman tren hidroklimat di masa mendatang seiring dengan pesatnya urbanisasi di Timur Tengah. 


Banjir dahsyat di Semenanjung Arabia pada musim dingin tahun 2024 menggarisbawahi urgensi untuk mempelajari frekuensi dan pemicu peristiwa cuaca ekstrem tersebut. |Sumber: EurekAlert


Post a Comment

أحدث أقدم