Bukan Soal Jumlah, Hubungan Emosional Kita dengan Uang Jauh Lebih Penting

Bukan sekadar jumlah, hubungan psikologis dengan uang berperan penting dalam kesehatan mental dan emosional, dan seharusnya diperhatikan baik oleh individu maupun pembuat kebijakan.


Bukan sekadar jumlah, hubungan psikologis dengan uang berperan penting dalam kesehatan mental dan emosional, dan seharusnya diperhatikan baik oleh individu maupun pembuat kebijakan.    Foto Ilustrasi: wirestock/FreepikFoto Ilustrasi: wirestock/Freepik


Ringkasan: 

  • Kepuasan terhadap keuangan lebih berkaitan dengan kebahagiaan saat ini, penghasilan lebih berperan dalam perubahan kesejahteraan jangka panjang.
  • Orang sering kali meremehkan perasaan cukup dan terlalu fokus pada perbandingan sosial, yang bisa menurunkan kebahagiaan meski penghasilannya baik.
  • Hubungan psikologis dengan uang berperan penting dalam kesehatan mental dan emosional.


SESEORANG mungkin pernah memberi nasihat seperti ini kepada Anda: “Uang tidak bisa membeli kebahagiaan.” Nyatanya, uang bisa membeli banyak hal yang bikin hidup jauh lebih nyaman.


Mau makanan enak, rumah yang layak, akses ke layanan kesehatan, dan bahkan waktu luang, kita membutuhkan uang. 


Tapi di sisi lain, kita juga tahu orang kaya yang stres, kesepian, dan bahkan depresi. Jadi pertanyaannya: sebetulnya, bagaimana hubungan antara uang dan kebahagiaan?


Sebuah studi besar baru-baru ini yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology mencoba menjawab pertanyaan klasik ini dengan cara yang lebih canggih. 


Studi ini tidak cuma melihat “berapa banyak uang yang kamu punya”, tapi juga “seberapa puas kamu dengan keadaan keuanganmu.” Dan hasilnya cukup mengejutkan.


Peneliti utama, Vincent Y. S. Oh dari Singapore University of Social Sciences, menganalisis lebih dari 7.600 orang dari AS dan Korea Selatan selama bertahun-tahun.


Ia ingin tahu: mana yang lebih penting buat kebahagiaan—jumlah uang atau perasaan terhadap uang itu? Jawabannya ternyata tidak sesederhana “ya” atau “tidak”.


Dikutip dari PsyPost, hasil studi ini membedakan dua hal yang selama ini sering dianggap sama: penghasilan (income) dan kepuasan finansial (financial satisfaction).


Pertama, peneliti menemukan bahwa orang yang puas dengan kondisi keuangannya cenderung lebih bahagia pada 'saat ini'. 


Mereka punya tingkat stres lebih rendah, kesehatan mental lebih baik, dan lebih puas dengan hidup secara umum—bahkan jika penghasilannya sebenarnya tidak besar.


Tapi kalau kita bicara 'perubahan kebahagiaan dalam jangka panjang', barulah penghasilan mengambil alih peran penting. 


Mereka yang punya penghasilan tinggi cenderung mengalami peningkatan (atau penurunan yang lebih lambat) dalam kesejahteraan seiring waktu. 


Artinya, meskipun uang mungkin tidak membuatmu langsung bahagia, ia bisa jadi fondasi yang stabil untuk hidup lebih baik dalam jangka panjang.


Jadi, mungkin frasa yang lebih tepat adalah: “Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan secara 'langsung, tapi bisa menyicilnya.”


Yang menarik, studi ini juga menemukan bahwa kepuasan terhadap keuangan bersifat sangat subjektif. Dua orang dengan penghasilan yang sama bisa punya tingkat kebahagiaan yang berbeda, tergantung bagaimana mereka memaknai situasi mereka.


Kalau Anda merasa “cukup”, Anda cenderung merasa lebih bahagia. Tapi kalau Anda terus-terusan membandingkan diri dengan orang lain—misalnya melihat teman di Instagram baru beli mobil baru— Anda bisa merasa kekurangan, padahal penghasilan Anda mungkin stabil.


Ini sesuai dengan teori psikologi tentang 'hedonic treadmill' —semakin kita mendapatkan sesuatu, semakin cepat kita terbiasa, dan semakin cepat pula kita ingin lebih. 


Kalau tidak disertai rasa syukur atau puas, uang berapa pun bisa terasa kurang.


Jadi, Uang atau Kepuasan yang Harus Dikejar?


Gampangnya begini: jika Anda ingin merasa bahagia hari ini, cobalah membangun rasa cukup. 


Tapi kalau Anda ingin menjaga kesejahteraan jangka panjang—terutama kesehatan, stabilitas hidup, dan masa depan keluarga—maka tidak ada salahnya mengejar penghasilan lebih tinggi, asal tidak menjadikan uang sebagai satu-satunya ukuran hidup.


Ini juga relevan secara kebijakan. Banyak program bantuan sosial hanya berfokus pada penghasilan, tanpa mempertimbangkan aspek psikologis dari rasa cukup. 


Padahal, membantu orang merasa lebih aman secara finansial—misalnya melalui edukasi keuangan atau pengurangan beban utang—bisa sama pentingnya dengan menaikkan pendapatan.


Yang paling menarik dari studi ini adalah pernyataan bahwa kebahagiaan tidak hanya tergantung pada berapa banyak uang yang kita punya, tapi juga bagaimana hubungan emosional kita dengan uang itu.


Ada orang kaya yang terus merasa kekurangan, dan ada orang dengan penghasilan biasa-biasa saja tapi hidupnya terasa penuh. Ini mengingatkan kita bahwa keuangan bukan hanya soal angka di rekening, tapi juga soal persepsi, ekspektasi, dan budaya.


Maka tantangannya adalah: bisakah kita membangun hubungan yang sehat dengan uang? Bisa nggak kita tetap ambisius tanpa jadi serakah? Bisa nggak kita merasa cukup tanpa jadi pasrah?


Penelitian ini, meskipun kuat, punya keterbatasan. Mayoritas partisipannya orang dewasa usia menengah ke atas, jadi belum tentu berlaku buat anak muda yang baru mulai membangun karier atau keluarga. 


Dan seperti semua studi observasional, hubungan sebab-akibatnya masih bisa diperdebatkan.


Tapi setidaknya, studi ini mengingatkan kita bahwa narasi “uang bukan segalanya” perlu dikritisi. 


Uang memang bukan segalanya, tapi bukan berarti tidak penting. Kita perlu realistis: hidup itu mahal. Tapi kita juga perlu waras: jangan sampai hidup hanya tentang mengejar angka.***


Sumber: Disadur dari artikel berjudul "Money and happiness: Major psychology study reveals surprising differences between income and financial satisfaction" yang dilansir PsyPost.

Post a Comment

أحدث أقدم