Para peneliti menemukan cara baru neuron bertindak dalam neurodegenerasi dengan menggunakan organoid saraf manusia -- juga dikenal sebagai model 'otak mini' -- dari pasien dengan degenerasi lobar frontotemporal (FTLD).

Ringkasan:
- Ilmuwan Stanford membangun miniatur sistem saraf manusia di laboratorium yang bisa menghantarkan rasa sakit tanpa melibatkan tubuh manusia.
- Model ini membuka jalan untuk meneliti nyeri kronis dan gangguan sensorik secara etis dan akurat — bahkan sampai ke tingkat genetik.
- Teknologi ini bisa mengubah cara kita menguji obat pereda nyeri di masa depan dan memahami penyakit neurologis seperti autisme.
UNTUK pertama kalinya dalam sejarah, ilmuwan berhasil membangun sistem saraf manusia mini di laboratorium yang mampu memproses sinyal rasa sakit.
Panjangnya hanya dua sentimeter, tapi ‘sosis’ mungil dari sel manusia ini membuka kemungkinan baru dalam memahami — dan suatu hari nanti mengatasi — rasa nyeri.
Tim dari Universitas Stanford menumbuhkan empat juta sel menjadi struktur otak mini bernama organoid. Keempat organoid ini mewakili titik-titik penting dalam jalur rasa sakit: ganglion akar dorsal, sumsum tulang belakang, thalamus, dan korteks somatosensorik.
Disambungkan bersama, mereka membentuk jalur sinyal lengkap dari kulit ke otak — semacam sistem saraf versi laboratorium yang disebut sensory assembloid.
“Kami kini bisa memodelkan jalur rasa sakit manusia secara non-invasif,” kata Dr. Sergiu Pasca, peneliti utama dari Stanford. “Assembloid ini tidak benar-benar ‘merasakan’ sakit. Mereka hanya menghantarkan sinyal saraf.”
Rasa Sakit di Atas Piring
Model ini dibuat dari sel kulit manusia yang diubah menjadi sel punca pluripoten. Selanjutnya, sel-sel ini diarahkan untuk membentuk jaringan saraf.
Dalam waktu 100 hari, neuron dari satu organoid tumbuh dan menyambung ke organoid lain, menciptakan jalur sinyal saraf aktif.
Ketika dirangsang dengan capsaicin — molekul pedas dari cabai — gelombang aktivitas saraf menyebar ke seluruh jaringan, menyerupai proses nyata di tubuh manusia.
Para peneliti memantau proses ini dengan pencitraan kalsium dan rekaman listrik, menemukan bahwa aktivitas saraf terjadi secara sinkron, menciptakan pola ritmis mirip otak sungguhan.
Ketika dibandingkan dengan organoid yang tidak tersambung, hanya versi "terakit" yang menunjukkan gelombang aktivitas ini.
Jalan Baru untuk Memahami Nyeri Kronis
Di Amerika Serikat saja, lebih dari 100 juta orang hidup dengan nyeri kronis, dan banyak pengobatan yang digunakan — seperti antidepresan atau opioid — tidak diciptakan untuk itu, sering kali dengan efek samping berat.
Karena penelitian pada hewan sering tidak relevan, dan studi pada manusia dibatasi oleh etika, model ini menjadi terobosan besar.
Salah satu sasaran potensial adalah protein Nav1.7, saluran natrium pada neuron sensorik.
Mutasi pada gen SCN9A, yang mengkode protein ini, dapat membuat seseorang sangat sensitif terhadap nyeri — atau bahkan tidak bisa merasakannya sama sekali.
Tim Pasca memodifikasi assembloid untuk menyertakan versi hiperaktif dari Nav1.7, dan hasilnya: sinyal saraf jadi lebih sering. Tapi ketika protein ini diblokir, sinyal nyeri berhenti — meski neuron awal masih menyala.
Ini menunjukkan bahwa nyeri bukan berasal dari satu titik, tapi dari percakapan terkoordinasi antar bagian jalur saraf.
Bukan Otak Sempurna, Tapi Sangat Menjanjikan
Meski belum lengkap (misalnya, model ini belum punya amigdala yang memberi aspek emosional terhadap rasa sakit), potensinya luar biasa.
Versi yang lebih canggih kini sedang dikembangkan untuk meniru umpan balik otak, bahkan digunakan untuk studi autisme dan Tourette’s syndrome.
Dengan produksi massal assembloid, industri farmasi bisa menguji obat — tak hanya soal efektivitasnya mengurangi rasa sakit, tapi juga efek sampingnya terhadap persepsi sensorik.
Stanford telah mematenkan teknologi ini, dan publikasi lengkapnya muncul di jurnal Nature.***
Sumber: Disadur dari artikel berjudul “Scientists Just Built a Mini Human Nervous System That Can Process Pain in a Dish in World First” yang terbit di ZME Science
إرسال تعليق